Lapadnews.com, Panyabungan – Sejumlah aktivis di Kabupaten Mandailing Natal (Madina) menilai bahwa program 100 hari pemerintahan Bupati Saifullah Nasution lebih bersifat konseptual dan tidak berorientasi pada tindakan nyata.
Hal ini diungkapkan oleh Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Mandailing Natal, Sonjaya Rangkuti, serta Ketua Aliansi Mahasiswa Pemuda Pemantau Kebijakan Pemerintah (AMP2K) Kabupaten Madina, Pajarur Rahman Nasution.
Keduanya menyampaikan kritik terhadap pemaparan program 100 hari Bupati Saifullah Nasution dan Wakil Bupati Atika Azmi Utammi Nasution dalam Sidang Paripurna DPRD Kabupaten Madina pada 25 Maret 2025.
Menurut Sonjaya, program yang disampaikan masih terkesan umum dan tidak memiliki langkah konkret dalam bentuk aksi nyata.
“Bupati Saifullah terlihat masih gamang dan tidak memiliki agenda prioritas. Program 100 hari yang dipaparkan cenderung konseptual, abstrak, dan lebih menyerupai visi-misi jangka panjang lima tahun daripada program yang dapat direalisasikan dalam waktu singkat,” ujar Sonjaya, mahasiswa STAIN Madina.
Dalam pemaparannya, Saifullah menyebutkan berbagai sektor yang menjadi fokus pembangunan, seperti kesehatan, pendidikan, lingkungan, pertanian, perikanan, pariwisata, dan ekonomi. Selain itu, ia juga menyinggung optimalisasi kinerja birokrasi serta pelestarian adat budaya Mandailing.
![]() |
Bupati Kabupaten Mandailing Natal bersama Wakil Bupati |
Program-program tersebut diklaim selaras dengan Asta Cita Presiden Prabowo Subianto dan Wapres Gibran Rakabuming, serta visi pembangunan Gubernur Sumatera Utara Muhammad Bobby Afif Nasution dan Wakil Gubernur Surya.
Namun, menurut para aktivis, program-program tersebut tidak memiliki penjabaran teknis yang jelas dan tidak ada prioritas mendesak yang dapat segera diwujudkan dalam kurun waktu 100 hari.
Pajarur Rahman menilai bahwa penyampaian program tersebut terlalu berlebihan dan tidak realistis.
“Program yang disampaikan lebih mirip visi-misi lima tahun ketimbang program kerja 100 hari. Tidak ada langkah nyata atau kebijakan konkret yang bisa langsung diimplementasikan. Ini terlalu berlebihan dan hanya menjadi harapan kosong bagi masyarakat,” ungkap Pajarur, mahasiswa pascasarjana UIN Suska Riau.
Menurut Pajarur, lemahnya koordinasi, minimnya kajian akademik, serta kurangnya sinkronisasi program antar-OPD menjadi penyebab program 100 hari ini terkesan terburu-buru dan kurang matang.
Seharusnya, program 100 hari difokuskan pada langkah-langkah strategis yang realistis dan dapat diukur dampaknya terhadap masyarakat.
Sebagai contoh, dalam sektor pelestarian adat budaya Mandailing, seharusnya program tersebut bisa dijabarkan melalui langkah konkret seperti pembentukan Balai Cagar Budaya dan Purbakala Mandailing, serta pendirian Lembaga Adat Budaya Mandailing yang representatif.
Begitu pula di sektor lain seperti pendidikan, kesehatan, dan ekonomi, yang seharusnya memiliki program kerja nyata dengan indikator keberhasilan yang jelas.
Para aktivis menegaskan bahwa mereka siap memberikan masukan berupa draft program prioritas yang realistis dan dapat dilaksanakan dalam 100 hari.
Draft ini telah disusun berdasarkan diskusi dengan tokoh masyarakat, akademisi, dan aktivis lainnya.
“Kami siap menjadi mitra kritis pemerintah Kabupaten Madina dan memberikan saran konstruktif. Jika Bupati Saifullah dan Wakil Bupati Atika membutuhkan pandangan kami, kami terbuka untuk berdiskusi dan menyerahkan draft program yang telah kami siapkan,” pungkas Pajarur.
Kritik terhadap program 100 hari ini menjadi cerminan harapan masyarakat agar pemerintah daerah dapat lebih fokus pada tindakan nyata yang dapat memberikan dampak langsung bagi kesejahteraan masyarakat Madina.
(*Magrifatulloh)
Social Header